Tidak diragukan lagi bahwasanya seorang muslim harus benar-benar memperhatikan hak-hak orang tua, karena Allah begitu memperhatikan hak-hak orang tua. Allah dalam banyak ayat telah mewasiatkan agar kita berbakti kepada kedua orang tua.
Asy-Syaukani berkata, “Allah telah menyebut perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua setelah menyebutkan perintah untuk beribadah kepada-Nya karena mereka berdua adalah sebab yang dzohir akan adanya sang anak (di muka bumi ini), dan Allah menggandengkan perintah untuk berbuat baik kepada mereka berdua dengan perintah untuk bertauhid kepada-Nya sebagai peringatan akan besarnya hak mereka berdua yang telah diketahui bersama, demikian juga Allah dalam ayat yang lain telah menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orangtua sebagaimana dalam firmanNya
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ }
((Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu))”[1]
Allah telah menggambarkan bagaimana beratnya seorang ibu dalam firmannya :
}وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ{ (لقمان:14)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Lukman 31:14)
}وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً{ (الاحقاف:15)
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS. Al Ahqoof 46:15)
Syaikh Abdulmuhsin Al-Qosim berkata , ((Ibumu (yang selama sembilan bulan) mengandungmu dalam keadaan lemah, dan semakin bertambah kelemahannya, dengan kesakitan yang selalu dialaminya, semakin engkau tumbuh maka semakin terasa berat yang dirasakannya dan semakin lemah tubuhnya. Kemudian tatkala akan melahirkanmu ia mempertaruhkan nyawanya dengan sakit yang luar biasa, ia melihat kematian dihadapannya namun ia tetap tegar demi engkau. Tatkala engkau lahir dan berada di sisinya maka hilanglah semua rasa sakit itu, ia memandangmu dengan penuh kasih sayang, ia meletakkan segala harapannya kepadamu. Kemudian ia bersegera sibuk mengurusmu siang dan malam dengan sebaik-baiknya dipangkuannya, makananmu adalah susunya, rumahmu adalah pangkuannya, kendaraanmu adalah kedua tangannya. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkanmu, ia rela untuk tidak tidur demi menidurkanmu, ia mendahulukan kesenanganmu di atas kesenangannya. Ia sangat sayang kepadamu, sangat mengasihimu.
Ingatlah bagaimana masa kecilmu…
Engkau menganggapnya adalah segalanya jika ia berada di sisimu, jika ia tidak berada di sisimu maka hanya ialah yang engkau panggil-panggil namanya, engkau tidak akan tenang dan berhenti dari tangismu hingga engkau melihatnya, jika mendapati hal yang engkau tidak sukai maka engkau segera melaporkan kepadanya dan meminta pertolongannya, engkau menganggap seluruh kebaikan berada padanya, dan engkau menyangka jika ia telah memelukmu di dadanya atau jika engkau tahu bahwa ia sedang mengawasimu maka tidak akan ada kejelekan yang bisa menimpamu.
Hatinya selalu sibuk memikirkanmu, ia menjadikan Robb-mu sebagai penjagamu dan pemeliharamu, ia merasakan bahwasanya engkau adalah belahan jiwanya, oleh karena itu seluruh harapannya ia letakkan kepadamu dan kehidupannya adalah demi keberhasilanmu.
Adapun ayahmu…ia bekerja dan berusaha dengan susah payah karenamu, ia mencegahmu dari kesulitan hidup sebisa mungkin, berulang-ulang ia pergi jauh demi menafkahimu, ia keluar di pagi hari dan kembali di petang hari demi engkau..
Demikianlah kedua orangtuamu menghadapi keletihan dan susah payah demi engkau, namun kecintaan mereka kepadamu telah tertanam di dalam hati mereka, mereka berusaha semampu mereka sekuat mereka untuk membahagiakanmu, engkaulah penyejuk mata mereka, engkaulah buah hati mereka, engkaulah harapan masa depan mereka. Mereka tidak tanggung-tanggung mengeluarkan uang yang telah susah payah mereka dapatkan untuk mengobatimu jika engkau sakit, dan mereka rela mengeluarkan harta mereka jika engkau yang meminta demi untuk menyenangkanmu, engkau hidup dan tumbuh di bawah naungan mereka dan bimbingan mereka..))[2]
Perintah Allah untuk berbakti kepada orangtua
Allah berfirman:
}وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً{ (الاسراء:23-24)
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “uf” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[3]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. 17:23-24)
Tafsir firman Allah { وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا }
((Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu..))
Al-Munawi berkata, “Dan pengagungan (penghormatan) kepada kedua orangtua merupakan kelaziman dari pengagungan kepada Allah, oleh karena itu Allah menggandengkan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dengan pengesaan Allah dan ibadah kepadaNya, maka barangsiapa yang tidak memanfaatkan (kesempatan ini) untuk berbuat baik kepada mereka berdua, terlebih lagi jika mereka berdua telah jompo, maka dia sangat layak dan pantas untuk dihinakan dan direndahkan”[4]
Firman Allah { وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً } ((berbuat baiklah pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya)), Berkata Syaikh Utsaimin, “Berbuat ihsan (kebaikan) kepada kedua orangtua bisa dengan perkataan, bisa dengan perbuatan, dan bisa dengan harta. Dengan perkataan misalnya ia berkata kepada mereka dengan perkataan mulia yang penuh lemah lembut…dengan perbuatan misalnya dengan membantu mereka dan mengerjakan perkara-perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka. Membantu dengan fisik seperti jika mereka berdua lemah maka ia membantu (membopong) mereka bahkan tatkala mereka hendak tidur atau hendak berdiri dan tatkala hendak duduk…dan dengan harta yaitu wajib bagi sang anak untuk berbuat baik kepada orangtua dengan mengorbankan hartanya yaitu dengan memberi mereka nafkah untuk seluruh yang mereka butuhkan, seperti pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal jika ia mampu untuk melakukannya”[5]
Berkata Abul Barokat An-Nasafi, “Faedah dari firman Allah { عِنْدَكَ } adalah, jika mereka berdua akhirnya berada di sisi anak mereka berdua dan tidak ada yang memelihara atau menanggung mereka berdua selain anak mereka, yaitu mereka berdua tinggal di rumah sang anak atau di kamarnya, dan hal ini lebih berat bagi sang anak, maka ia diperintahkan untuk bersikap lembut kepada mereka berdua bahkan jangan sampai ia berkata kepada mereka berdua “Ah” jika ia tidak suka melihat sesuatu yang menjijikan dari mereka berdua apalagi hingga lebih daripada itu. Allah telah benar-benar dalam mewasiatkan kepada sang anak untuk memperhatikan mereka berdua, dimana Allah membuka wasiatnya dengan menggabungkan perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk mentauhidkan-Nya kemudian Allah benar-benar menekankan perintah untuk memperhatikan dan memelihara mereka berdua sampai-sampai Allah tidak memberikan keringanan bagi sang anak untuk mengucapkan lafal/kalimat yang menunjukan kejengkelan padahal banyak perkara-perkara yang memotivasi kejengkelan, padahal dalam kondisi yang hampir seorang manusia tidak bisa menghadapinya” [6]
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة
Dari Abu Hurairoh dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda ((Kehinaan baginya, kehinaan baginya, dan kehinaan baginya!!)), dikatakan (kepada beliau rshallallahu ‘alihi wa sallam), “Bagi siapakah kehinaan itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, ((Orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan tua (jompo), salah satunya atau keduanya kemudian ia tidak masuk surga))[7]
Berkata Al-Munawi, “((Kehinaan baginya))”, yaitu ia didoakan kecelakaan baginya…dan disebutkan sifat jompo disini padahal melayani kedua orangtua hendaknya selalu dipelihara disetiap saat dikarenakan kebutuhan mereka berdua akan bakti dan pelayanan di saat jompo”[8]
عن كعب بن عجرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم احضروا المنبر فحضرنا فلما ارتقى درجة قال آمين فلما ارتقى الدرجة الثانية قال آمين فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال آمين فلما نزل قلنا يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه قال إن جبريل عليه الصلاة والسلام عرض لي فقال بعدا لمن أدرك رمضان فلم يغفر له قلت آمين فلما رقيت الثانية قال بعدا لمن ذكرت عنده فلم يصل عليك قلت آمين فلما رقيت الثالثة قال بعدا لمن أدرك أبواه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة قلت آمين
Dari Ka’ab bi Ujroh ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda ((Pergilah ke mimbar)), maka kamipun menuju ke mimbar. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam naik ke tingkat pertama mimbar ia berkata “Amin (kabulkanlah ya Allah)”, tatkala ia naik ke tingkat yang kedua ia berkata “Amin”, dan tatkala ia naik ke tingkat yang ketiga ia berkata “Amin”. Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam turun dari mimbar kami bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah kami mendengar darimu pada hari ini sesuatu yang kami tidak pernah mendengarnya sebelumnya”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, ((Jibril u telah mendatangiku dan berkata , “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang menemui bulan Ramadhan kemudian ia tidak diampuni”, maka aku berkata, “Amin”. Tatkala aku menaiki tingkatan mimbar yang kedua ia berkata, “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang engkau disebut dihadapannya kemudian ia tidak bersholawat kepadamu”, maka aku katakan “Amin”. Tatkala aku menaiki tingkatan mimbar yang ketiga ia berkata, “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan jompo atau salah satu dari keduanya kemudian kedua orangtuanya tidak memasukannya ke dalam surga”, maka aku katakaa, “Amin”))[9]
Imam Al-Qurtubhi berkata, “Orang yang bahagia adalah orang yang menggunakan kesempatan emas ini untuk berbakti kepada kedua orangtuanya agar ia tidak luput dari (kesempatan emas ini yaitu masuk surga) dengan meninggalnya kedua orangtuanya. Dan orang yang celaka adalah orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, terlebih lagi orang yang telah diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtuanya”[10]
Dari Humaid ia berkata, “Tatkala ibu Iyas bin Mu’awiyah meninggal maka Iyaspun menangis, maka dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”, ia berkata, “Dulu aku punya dua pintu untuk masuk surga dan (sekarang) salah satunya telah ditutup””[11]
Tafsiran firman Allah { فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ } ((maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “uf”))
Yaitu janganlah kalian berkata kedua orangtua dengan perkataan kasar yang paling rendahpun. Dari Abu Roja’ Al-‘Athoridi ia berkata, الأف الكلام القذع الرديء الخفي “Al-Uff[12] yaitu perkataan yang rendah, jelek, dan samar (pelan)”. Berkata Mujahid (إذا رأيت منهما في حال الشيخ الغائط والبول الذي رأياه منك في الصغر فلا تقذرهما وتقول أف), “Jika engkau melihat dari kedua orangtua yang dalam keadaan jompo tai atau kencing yang mereka berduapun telah melihatnya dari engkau tatkala masih kecil, maka janganlah engkau merasa jijik dan berkata “Uf””[13]. Ia juga berkata, “Janganlah engkau mengatakan Uf tatkala engkau membersihkan (mencebok) kencing dan kotoran mereka berdua sebagaimana mereka berdua mencebokimu tatkala engkau masih kecil”[14]
Ad-Dailami meriwayatkan dari Al-Husain bin ‘Ali bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
لو علم الله عز وجل شيئا من العقوق أدنى من أف لحرمه فليعمل العاق ما شاء فلن يدخل الجنة وليعمل البار ما شاء أن يعمل فلن يدخل النار
((Kalau seandainya Allah mengetahui ada bentuk durhaka yang lebih rendah daripada perkataan “Uf” maka Allah akan mengharamkannya. Maka silahkan anak yang durhaka berbuat semaunya maka ia tidak bakalan masuk surga dan silahkan anak yang berbakti berubuat semaunya ia tidak bakalan masuk neraka)) [15]
Jika kalimat yang sangat ringan untuk diucapkan (yaitu Uf) diharamkan bagi kita untuk mengucapkannya kepada orangtua bagaimana lagi yang lebih berat dari pada itu, bagaimana lagi jika sampai menyakiti orangtua secara fisik??, penyebutan pengharaman perkataan “Uf” sebagai peringatan bahwa yang lebih berat dari pada perkataan “Uf” tentunya lebih diharamkan lagi.[16]
Berkata Al-Quthubhi, “Ulama kami berkata bahwasanya perkataan “Uf” kepada kedua orangtua menjadi sesuatu yang paling jelek karena itu adalah sikap penolakan terhadap kedua orangtua yaitu seperti pengingkaran terhadap kenikmatan (yang telah diberikan oleh mereka berdua) dan mengingkari dan menolak wasiat yang telah diwasiatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an”[17]
Urwah bin Az-Zubair menafsirkan firman Allah { فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ } ((dan janganlah engkau mengatakan kepada keduanya Uf)) dengan perkataannya لا تمنعهما شيئا أراداه أو أحباه “Engkau tidak melarang mereka berdua untuk melakukan sesuatu yang mereka berdua kehendaki” atau “yang mereka berdua sukai”[18]
bersambung…
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Fathul Qodir 3/218
[2] Sebagaimana disadur dari ceramah beliau dari khutbah jum’at di masjid Nabawi (dengan sedikit tasorruf)
[3] Diantara ayat-ayat yang sangat jelas menunjukan bahwasanya ayat-ayat tersebut ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam namun maksudnya adalah syari’at bagi umatnya adalah ayat ini. Karena Allah berfirman ((Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu)), padahal kedua orangtua Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam telah lama meninggal dunia sebelum turun ayat ini. Maka jelas bahwa ayat ini meskipun khitobnya (pembicaraannya) ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam namun maksudnya adalah untuk umatnya. (Adhwa’ul bayan 3/83, 6/34, Tafsir Al-Qurthubhi 10/244). Dan khitob kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dalam Al-Qur’an ada tiga macam (Lihat Adhwaul bayan 8/209)
1. Khitob yang ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam namun maksudnya adalah untuk umatnya, dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sama sekali tidak masuk dalam hukum yang disebutkan dalam khitob tersebut sebagaimana dalam ayat ini.
2. Khitob yang hukumnya hanyalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
}وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ { (الأحزاب:50)
dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. 33:50).
3. Khitob yang hukumnya mencakup Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan umatnya, sebagaimana firman Allah
}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (التحريم:1)
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 66:1)
Kemudian Allah berfirman
}قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ{ (التحريم:2)
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian membebaskan diri dari sumpah kalian; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 66:2)
Allah menggunakan dhomir untuk jamak.
Demikian juga firman Allah
}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ {(الطلاق: من الآية1)
Hai Nabi, apabila kalian menceraikan isteri-isterimu. (QS. 65:1), khitob ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam namun Allah mengatakan ((apabila kalian menceraikan isteri-isterimu)) dengan dhomir jamak.
[4] Faidhul Qodiir 4/34
[5] Fatwa Ibnu Utsaimin jilid 7, Al-Washoya Al-‘Asyr, wasiat yang kedua
[6] Tafsir An-Nasafi 2/283
[7] HR Muslim 4/1978 no 2551 (باب رغم أنف من أدرك أبويه أو أحدهما عند الكبر فلم يدخل الجنة ), berkata Ibnu Mandzur (أرغم الله أنفه), yaitu semoga Allah menempelkan hidungnya dengan Ar-Rigom yaitu tanah. Ini adalah makna asalnya kemudian digunakan untuk mengungkapkan kehinaan…” (Lisanul ‘Arob 12/246). Dikatakan juga bahwa Ar-Rogm adalah semua yang menimpa hidung yang mengganggu hidung (Al-Minhaj 16/109)
[8] Faidhul Qodiir 4/34
[9] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 4/170 no 7256, Ibnu Khuzaimah 3/192 no 1888, Dishaihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih at-Targhib wa At-Tarhib no 995, 1677 dan Adabul Mufrod no 644
[10] Tafsir Al-Qurtubhi 10/242
[11] Kitabul bir was silah hal 68 karya Ibnul jauzi sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 34
[12] Berkata Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’, “Al-Uf adalah kotoran kuku, adapun At-Tuf adalah kuku-kuku yang telah terpotong”. Az-Zajjaj berkata, “Al-Uf adalah kotoran yang bau”. Berkata Al-Ashma’i. “Al-Uf adalah kotoran telinga, adapu At-Tuf adalah kotoran kuku, lalu banyak digunakan (dalam ungkapan-ungkapan) hingga digunakan untuk mengungkapkan semua perkara yang tidak disukai” (At-Tafsir Al-Kabir 20/151). Uf adalah sebuah perkataan yang digunakan untuk semua perkara yang ditolak, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam Ibrahim berkata kepada kaumnya
}أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ{ (الانبياء:67)
Uf bagi kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami (QS. 21:67)
Yaitu, “Penolakan” bagi kalian dan juga patung-patung kalian. (Tafsir Al-Qurthubhi 10/243).
[13] Tafsir Al-Qurtubhi 10/242
[14] Tafsir Al-Bagowi 3/10
[15] Al-Firdaus bi ma’tsuril khitob 3/353 no 5063
[16] Penafian sesuatu yang lebih rendah dalam rangka untuk menafikan sesuatu yang di atasnya adalah lebih mengena daripada langsung menafikan sesuatu yang di atas tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah
}قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلالةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ{ (لأعراف: 61-61)
Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:”Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”. Nuh menjawab:”Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan dari Rabb semesta alam”” (QS. 7: 60-61).
Nabi Nuh alaihissalam tidaklah berkata {لَيْسَ بِي ضَلال} setelah perkataan kaumnya { إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ } namun ia berkata { لَيْسَ بِي ضَلالةٌ } karena lafal ضَلالةٌ lebih rendah dan lebih sedikit disbanding lafal ضَلال , lafal ضَلالةٌ hanyalah digunakan untuk satu kesesatan adapun lafal ضَلال digunakan untuk kesesatan yang sedikit maupun banyak.
Demikian juga pada firman Allah
}مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ{ (البقرة:17)
Perumpamaan mereka (orang-orang munafik) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS. 2:17)
Allah tidaklah mengatakan ((ذَهَبَ اللهُ بِضَوْئِهِم)) setelah firmanNya {أَضَاءَتْ}, tetapi Allah berfirman {ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ } karena Ad-Dhou’ hanyalah digunakan untuk cahaya yang banyak (sinar) adapun nur bisa digunakan untuk cahaya yang banyak maupun yang sedikit. Oleh karena itu Allah berfirman
}هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوراً { (يونس:5)
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya (QS. 10:5)
Padahal maksud Allah adalah menghilangkan seluruh sinar semuanya (menghilangkan dhou’ yang tadinya telah meliputi mereka), oleh karena itu Allah berfirman di akhir ayat { وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ } ((dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.)) (Al-Burhan fi ‘ulumil Qur’an 3/402-404)
Jika ada yang berkata, “Bukankah tatkala Allah melarang seseorang mengatakan Uf kepada kedua orangtua berarti secara otomatis melarang juga untuk membentak mereka berdua, namun mengapa Allah setelah melarang mengatakan Uf Allah berfirman { وَلا تَنْهَرْهُمَا} ((Dan janganlah membentak mereka berdua))??
Jawabannya memang ada kaidah:
((Jika penetapan sesuatu menununjukan atas penetapan sesuatu yang lain maka lebih, maka dengan penetapan atas sesuatu tersebut mencukupkan tanpa harus menyebutkan penetapan sesuatu yang lain (karena telah terwakilkan) sebagaimana firman Allah
}وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ{ (آل عمران:133)
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (QS. 3:133)
}سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ{ (الحديد:21)
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang leeebarnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. 57:21)
Allah tidak menyebutkan tentang panjang surga namun Allah hanya menyebutkan tentang lebar surga karena penjelasan akan tentang lebarnya yang seperti langit dan bumi maka tentunya menunjukan bahwa panjang surga terlebih lagi.
Demikian juga penafian jika penafian sesuatu telah mewakili penafian sesuatu yang lain maka mencukupkan dengan penafian sesuatu tersebut tanpa menyebutkan penafian sesuatu yang lain adalah lebih baik))
Namun kaidah ini terkadang tidak dilaksanakan dikarenakan ada tujuan yang lain, contohnya seperti firman Allah
}اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ{ (البقرة:255)
Allah tidak ada ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. 2:255)
Allah tidak mencukupkan dengan firmanNya { لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ } ((tidak mengantuk)) namun Allah juga mengatakan { وَلا نَوْمٌ} ((dan tidak tidur)) meskipun telah dipahami bahwasanya ngantuk adalah pembuka tidur, jika ngantuk dinafikan maka otomatis tidur juga ternafikan. Namun dalam ayat ini Allah menafikan tidur dari DiriNya karena dalam rangka membantah persangkaan yang mungkin timbul bahwa sifat ngantuk tidak bisa menimpa Allah adalah karena lemahnya sifat tersebut adapun tidur ia merupakan sifat yang kuat yang mungkin saja bisa menimpa Allah.
Demikian juga firman Allah
}فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا { (الاسراء:23)
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka (QS 17:23).
Allah tidak mencukupkan menyebut larangan untuk mengucapkan Uf saja namun Allah juga menyebutkan larangan untuk membentak kedua orangtua, hal ini dikarenakan pentingnya larangan untuk mengucapkan Uf dan agar diperhatikan larangan tersebut hingga seakan-akan Allah telah melarang untuk mengucapkan perkataan yang kasar (bentakan) dua kali, yang pertama dengan mafhum dan yang kedua dengan mantuq. (Al-Burhan ri Ulumil Qur’an 3/403-404)
[17] Tafsir Al-Qurtubhi 10/243
[18] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/219 no 25412